Sejak lama, kisah manusia super yang dituangkan ke dalam bacaan maupun divisualisasikan lewat karya film selalu digandrungi banyak orang. Kita butuh suguhan khayal yang melenakan, sebab di kehidupan nyata, seringkali kita tak berdaya di hadapan takdir; begitu katanya. Manusia super selalu digambarkan hidup penuh drama, kekuatannya justru melesat bak roket tiap kali penikmat kisahnya yakin ajalnya sebentar lagi. Kisah-kisah semacam inilah yang mungkin menginspirasi para deadliners yang mendadak super kreatif jelang jatuh tempo, hahaha. Pantang menyerah, adalah pesan yang selalu hadir dalam kisah-kisah heroik. Pesan sederhana yang membuat karya laris manis di pasaran, begitu pula awal tenarnya Andrea Hirata. Tetralogi Laskar Pelangi yang mengangkat kisah anak pulau, sekolah di kandang kambing, yang kemudian mengalahkan takdir dan berkuliah di Sorbonne Université, Prancis.
Namun setelah tetralogi Laskar Pelangi, Pak Cik Hirata nampaknya agak berubah arah dalam menulis novel-novel selanjutnya. Jika tokoh-tokoh dalam tetralogi Laskar Pelangi begitu heroik dan membanggakan, dwilogi Padang Bulan justru mengangkat kisah perempuan tak tamat SD, Cik Maryamah. Lalu pada novel Ayah, Sabari, lelaki super polos dan tak rupawan dengan cinta sepihaknya pada Marlena si urakan jadi benang merah kisahnya. Dua tahun lalu, Sirkus Pohon menyajikan Sobri si badut pasar malam yang ditimpa kesialan bertubi-tubi, pun saat cintanya hampir bertaut di pelaminan. Lalu seperti sebuah klimaks, tahun ini Pak Cik merilis Orang-Orang Biasa, sebuah novel bersampul kuning dengan orang berkepala monyet (?) sebagai ilustrasinya.
Orang-orang biasa dimulai dengan kisah anak-anak SD yang duduk paling belakang, diikat oleh sebuah paduan takdir pilu; bodoh, jelek, jorok, miskin, dan korban perundungan. Lalu seorang anak idealis ingin menyelamatkan mereka, hingga genap jadi sepuluh sekawan. Namun seperti dalam kehidupan nyata, si idealis bukannya menyelamatkan, malah terseret dalam pilunya hidup dan babak belur karena ikut dirundung. Belum lagi, sepuluh sekawan hanyalah nama, nyatanya mereka lebih sering saling tunjuk menyalahkan, dan meninggalkan saat kawannya dihajar perundung.
Hidup berjalan, tak satupun dari mereka membalik kehidupan. Sebagian tak tamat SMA, bahkan SMP, tapi beranak banyak. Adalah Dinah, yang dulunya hanya tersenyum tiap ditanyai soal matematika, tak mempan dihukum gurunya, jadi pusat kisah ini. Anaknya empat, sama sepertinya, menyerah pada belajar, apalagi tahu orangtuanya kebat-kebit membiayai sekolah. Tak cukup hidup susah dan dikejar Satpol PP secara reguler akibat berjualan mainan di trotoar, Dinah ditimpa kemalangan dengan sakit suaminya yang aneh, hanya bisa diobati oleh dokter ahli, kata pegawai puskesmas. Tak lama setelahnya, Dinah menjanda karena ajal menjemput suaminya. Hidup makin sulit, fisik lelah dan batin menjerit. Namun di tengah keterpurukan, Aini, anak pertama Dinah menghadirkan kejutan.
Tiba-tiba saja Aini tak pernah lepas dari buku, juga rajin ke rumah guru matematikanya. Waktu berjalan, nilai rapor Aini cemerlang, membuat tak hanya Dinah, kawan-kawannya pun tak percaya. Sampai suatu hari Aini membuat jantung Dinah hampir loncat, ia diterima di jurusan kedokteran universitas negeri. Sebuah hadiah yang sekaligus jadi awal kegilaan sepuluh sekawan, sebab untuk mendaftar ulang, Aini wajib membayar uang masuk delapan puluh juta. Debut Awaluddin, kawan Dinah, yang idealismenya tak juga luntur, pemilik toko buku yang tak dikunjungi siapa pun selain kawan-kawannya, mengusulkan sebuah ide berbahaya; merampok bank bersama sepuluh sekawan. Ide yang sebenarnya bukan hanya berbahaya, tapi juga hampir mustahil berhasil.
Bagaimana tak mustahil? Sampai berkali rapat perencanaan mereka hanya sibuk bertengkar. Belum lagi Debut Awaluddin terkena post power syndrome bahkan sebelum ia memimpin perampokan. Di sisi lain, komplotan pencuri musiman kembali ke kampung mereka juga sedang merencanakan sesuatu. Lalu Inspektur Abdul Rojali, polisi miskin nan jujur penggemar berat Shah Rukh Khan, yang rindu sekali membekuk pelaku kriminal, tengah memantau lekat gerak-gerik mencurigakan di Belantik. Geng perundung sepuluh sekawan pun masih berkomplot, malah kaya-raya dengan usaha misteriusnya. Geng yang masih saja membayangi kehidupan mereka. Berhasilkah sepuluh sekawan, yang kata Pak Cik lebih layak disebut gerombolan, merampok bank? Ataukah Aini harus mengalah pada takdir, di mana pendidikan seringkali hanya jadi milik kaum berada? Lalu, apa sesungguhnya usaha misterius geng perundung sepuluh sekawan; Trio Bastardin?
Orang-Orang Biasa, lagi-lagi menyajikan kisah getir kehidupan kaum papa di sebuah kampung dengan jenaka. Pak Cik Hirata tak pernah lupa menghadirkan warung-warung kopi bernama unik, tempat favorit orang Melayu. Tapi kali ini, tak ada kisah asmara, tak ada nomor-nomor penyakit gila. Meski keseluruhannya jenaka, di tengah cerita kita akan dibuat termenung, tersenyum getir, lalu kembali terpingkal. Anehnya, lewat tokoh-tokoh bernama sederhana khas Melayu pula inilah Pak Cik akan menginspirasi kita. Bagi saya pribadi, membaca karya-karya Andrea Hirata selalu membangkitkan lagi semangat diri, bahwa ketulusan dan keteguhan memegang prinsip adalah dua hal yang membuat manusia bernilai, bahkan saat seeorang nampak tak beruntung.
Orang-Orang biasa, insyaallah bisa jadi hadiah luar biasa untuk orang-orang terkasih, juga untuk diri kita sendiri. Membaca review saya ini, semoga membuat kita tak berpikir dua kali membeli buku. Sebab kata Pak Cik pula dalam novelnya, berjualan buku di negeri yang penduduknya tak suka membaca adalah tindakan heroik; maka tak ada salahnya kita menjadi superhero, setidaknya sekali, dengan membeli novel ini.
Leave a Reply