Syifaisn

Tiap Duduk di Depan Meja

  • Pribadi
  • Opini
  • Review
  • Kontak
You are here: Home / Opini / Inspiratif atau Toxic ?

Inspiratif atau Toxic ?

March 20, 2019 Ditulis syifaisn

Ilustrasi mamak-mamak sedang merenung. Kalau foto ini, inspiratif atau toxic? Wkwkwk.

Sekarang saya tahu kenapa induk ayam sensitif sekali, sampai-sampai waktu kecil, adik saya pernah kena patuk dekat matanya gara-gara dekat-dekat dengan induk ayam yang lagi bersama anak-anaknya. Jadi ibu sepertinya memang membangkitkan sensitifitas ya? Saya belum baca teori psikologinya sih, tapi saya sendiri sudah membuktikan. Bayangkan, nonton Aquaman di (indo)XXI *alamak bajakan*, bikin saya nangis sesenggukan sambil minum teh tarik instant. Iya, ingat kan di bagian awal film waktu ibunya Aquaman harus meninggalkan suami dan anaknya? Sedih aku tuh, kebayang rasanya sesak sekali. Padahal, dulu saya ini macam batu, ikut renungan gak nangis malah ketawa ngelihat teman berlelehan ingus, ups! Terakhir, saya malah gak jadi nonton Series di ABC iView yang judulnya The Cry, gara-gara ceritanya tentang kehilangan bayi yang baru tiga bulan usianya, ish gak kuat.

Tapi ternyata sensitifitas itu bukan sebatas gampang mewek, tapi juga gampang tersambar, sumbu pendek, ndak kayak kompor minyak bapak zaman dulu yang susah kali nyala karena sumbunya kepanjangan. Alhamdulillah marahnya bukan sama bayi, tapi sama postingan warganet ibu-ibu yang banyak, ehm, menyebalkan. Tapi masih untung pelampiasan marahnya saya sama postingan atau komentar menyebalkan itu masih lumayan positif. Sepanjang malam saya akan berbicara ke suami tentang ide-ide menumpas kejahatan komentar dan postingan itu. Saya jadi bicara macam calon ketua partai yang kampanye, penuh visi misi untuk menyelamatkan ibu-ibu dari kekerasan komentar dan postingan warganet. Tapi, masalahnya, tidak semua ibu, apalagi yang masih newbie kayak saya, bisa melampiaskan kegundahannya dengan cara yang baik, ada yang justru memendam sampai berujung depresi. Tunggu, ini hubungannya sama judul apa?

Bayangkan, di tengah sensitifitas yang memuncak, berbagai konten beracun tersebar bikin pikiran makin runyam. Pernah lihat kan postingan ibu-ibu yang berisi rasa syukur, misal karena anaknya bisa dikasih ASI, atau karena anaknya baru sebulan udah bisa lari *eh*, sedangkan ibu-ibu lain banyak yang gak gitu. Nah kenapa postingan atau komentar bersyukur seperti saya bilang menyebalkan, alias toxic bukan inspiratif? Karena seringkali ucapan syukur itu diikuti judgement, ish.

Peringkat pertama postingan toxic menurut saya memang diduduki oleh postingan atau komentar bersyukur karena bisa ngasih ASI, ish bangga kali lah, karunia Allah tuh. Tapi buat saya, entah mungkin hati saya aja kali yang kotor, kesyukuran karena bisa ngasih ASI itu tiada menginspirasi apalagi kalau isinya kemudian hanya menyudutkan ibu-ibu pejuang susu formula, meski kadang caranya halus dan terselubung.

“Alhamdulillah, sampai saat ini Ibu belum menyerah pada deretan susu formula yang menawarkan segudang manfaat di iklannya.” Seolah sedang berbicara pada bayinya.

Tunggu, ‘menyerah’? Seriously menganggap bahwa memberikan sufor ke anak adalah bentuk menyerahnya seorang ibu? Oh anda harusnya riset atau minimal ngobrol dulu sama ibu pejuang sufor sebelum asal bunyi. Kenapa saya bilang pejuang sufor? Karena sungguh saya ketemu banyak ibu yang akhirnya harus berjuang dengan sufor, dan itu gak mudah, jauh lebih sulit daripada memberi ASI. Pertama, memastikan botol higienis tiap kali anak mau nyusu sangat sangat sangat melelahkan. Saya saja, yang hanya sebatas memberikan ASIP, menyerah dan memilih memberi ASI secara langsung karena capek bolak-balik nyuci botol dan peralatan. Satu bulan pertama juga saya pakai nipple shield dan harus dicuci tiap mau pakai, dengan air panas tentunya. Belum lagi, sufor itu cocok-cocokan, kadang harus menghadapi anak alergi sufor merk tertentu. Pernah terbayang, hancurnya hati melihat reaksi alergi pada anak? Sudahlah begitu, ada postingan orang sekenanya menyalahkan, kenapa ngasih sufor ke anak. Memberikan sufor bukan menyerah, justru bagi saya adalah perjuangan yang lebih berat bagi seorang ibu, melihat banyaknya hal yang harus siap dihadapi.

Peringkat kedua diraih oleh ‘anak sudah bisa apa’. Ah, saya paling malas kalau orang ngepost soal ini, apalagi kalau diikuti komentar membangga-banggakan kebisaan anaknya. Padahal sudah banyak artikel yang bilang, tiap bayi berbeda, selama tidak melewati rentang waktu tertentu, maka anak kita normal-normal saja.

“Alhamdulillah, anakku baru lima bulan sudah bisa merangkak.” Lalu ibu-ibu yang anaknya hampir tujuh bulan namun belum juga merangkak jadi panik, anxiety.

Postingan dan komentar semacam ini betul-betul tidak menolong ibu, apalagi menginspirasi. Malah, membuat ibu jadi stres, semisal anaknya tidak mengalami perkembangan yang sama dengan anak orang lain. Buat apa kita banggakan anak sudah bisa apa? Bu, tolong pikir-pikir lagi sebelum posting sesuatu.

Lalu, peringkat ketiga menurut saya ditempati oleh persoalan MPASI instan versus buatan sendiri. Jadi ini pengalaman pribadi sih, waktu niatnya cari inspirasi menu MPASI karena takut Nada bosan dengan yang instan, namun malah berujung anxiety. Bukannya dapat menu, saya malah minder melihat ibu-ibu yang posting bisa masak berbagai menu dalam sehari, plus setelah itu bilang kalau memberi MPASI instan itu seperti gak cinta sama anak. Tidak sampai disitu, si ibu pake bilang kalau MPASI itu bukan sekedar ngasih makan, jadi masa’ iya ngasih anak tinggal sobek lalu seduh. Alamak, gak gitu kali, gak tinggal sobek terus seduh tahu! MPASI instan andalanku tinggal buka cap terus tuang ke sendok! *Lah malah lebih gampang*. Ku tiba-tiba merasa tidak berguna, hiks. Ingin, nangis di pojokan, tapi untung ada suami yang jadi pelampiasan passionate dialogue saya, kali ini membahas, lebih tepatnya membela diri, bahwa memberi MPASI itu intinya memenuhi nutrisi anak. Karena tujuannya memenuhi nutrisi, maka mau jalannya instan ataupun bikin sendiri, itu gak masalah, yang penting memberinya dengan penuh rasa bahagia jadi si anak juga bahagia. Lalu ku lanjutkan kampanye ku dengan mengatakan kalau dibanding memikirkan bikin MPASI sendiri, ku lebih baik fokus membangun karakter anak. Toh, Asma Nadia, gak bisa masak sama sekali, gak bisa mengerjakan pekerjaan rumah, tapi anak-anaknya alhamdulillah tumbuh jadi anak dengan karakter hebat yang bermanfaat bagi masyarakat. Ih, Asma Nadia memang panutanku (alasan mamak malas, hahahaha). Buat saya, tiap ibu punya keahlian masing-masing yang unik dan tidak perlu saling memandang remeh. Asalkan keahlian itu sesuai dengan kebutuhan keluarga, tidak perlu merasa cemas, percayalah. Saya kalau masak seadanya, tidak pandai menyetrika, tapi alhamdulillah suami mendukung saja, karena saya bisa bantu dia mengerjakan tugas essai yang bejibun, wkwkwk.

Mulai sekarang, pertimbangkan masak-masak apa yang mau kita bagikan di media sosial. Rasa syukur, kalau sekiranya bisa melukai hati orang lain, cukup kita ucapkan langsung pada ilahi. Pun kalau kita habis direndahkan, tidak perlu menjawab orang tadi dengan posting yang kemudian merendahkan pihak lain juga. Cukup kita bilang langsung ke orangnya, eh, baiknya orasi di rumah aja, depan suami, manjur banget loh meredam kejengkelan, hoho. Kalau mau berbagi inspirasi, lebih baik bagikan mainan yang kita buatkan atau konsepkan untuk anak-anak, rasanya lebih bermanfaat. Soal ASI vs sufor, kebisaan anak, dan MPASI instan vs bikin sendiri, biarlah jadi keputusan masing-masing yang kita tidak perlu komentari, malah lebih baik saling menguatkan ibu lain, apapun jalan yang diambilnya. Karena tiga masalah ini, sangat dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang tentunya tidak sama pada tiap ibu. Apapun jalan yang dipilih, semuanya ada perjuangan tersendiri, kalau pun kita tidak mengerti, kita bisa saling menguatkan. Biar tidak ada lagi ibu depresi, kehilangan percaya diri hanya karena melihat postingan ibu lain.

Masih banyak sih bahasan soal inpiratif atau toxic ini, selain yang menyangkut kehidupan mamak-mamak. Tapi akan saya bahas di tulisan lain, semoga bisa secepatnya saya tulis, muehehe. Pesan saya buat ibu-ibu, yang baru kayak saya maupun yang sudah lama; percaya dirilah dengan pilihan kita, tidak perlu minder karena melihat orang lain, atau karena dikomentari orang lain. Kalau tidak kuat, kalau sedih, bicara pada suami, atau siapa pun yang bisa jadi sandaran, yang pasti Allah selalu jadi penguat kita. Anak-anak butuh cinta dan tumbuh jadi bahagia, entah dengan ASI atau sufor, MPASI instan ataupun bikin sendiri, sama saja selama kita memberinya dengan penuh kasih. Sampai jumpa di tulisan mendatang, mamak millenials 😄.

Filed Under: Opini Tagged With: baby blues, ibu baru Leave a Comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Cari Yuk!

Kenalan yuk

Hai, selamat menikmati cerita dan diksi saya. Website ini dikelola pribadi oleh saya sendiri, ibu-ibu newbie yang sering overthinking, heheu. Jangan sungkan untuk berkomentar atau sekedar menyapa ya!

Tulisan Terbaru

  • Kisah Orang-Orang Biasa dalam Novel Teranyar Hirata
  • Survival Tips di Australia Episode 1; Jalan-Jalan Bawa Bayi di Australia
  • Belajar dari Buibu Solcans
  • Inspiratif atau Toxic ?
  • Benarkah Kita yang Paling Baik?

Sosial Media

  • Facebook
  • Google+
  • LinkedIn
  • Phone
  • Tumblr
  • Twitter
  • YouTube

Arsip

  • September 2019
  • June 2019
  • March 2019
  • January 2019
  • December 2018
  • November 2018
  • October 2018
  • August 2018
  • March 2018
  • February 2018
  • December 2017

Kategori

  • Cerita
  • Opini
  • Pribadi
  • Review
  • Survival Tips Australia

Komentar

  • syifaisn on Pengalaman Pakai Debit Visa Jenius dari BTPN (Akhirnya bisa belanja di Amazon tanpa CC 😄)
  • Mimi on Pengalaman Pakai Debit Visa Jenius dari BTPN (Akhirnya bisa belanja di Amazon tanpa CC 😄)
  • syifaisn on Pengalaman Pakai Debit Visa Jenius dari BTPN (Akhirnya bisa belanja di Amazon tanpa CC 😄)
  • donny on Pengalaman Pakai Debit Visa Jenius dari BTPN (Akhirnya bisa belanja di Amazon tanpa CC 😄)
  • Syifa on Pengalaman Pakai Debit Visa Jenius dari BTPN (Akhirnya bisa belanja di Amazon tanpa CC 😄)

Copyright © 2019 · Syifaisn